Setiap memasuki awal perkuliahan, saya tidak selalu langsung masuk ke materi perkuliahan. Ada beberapa hal yang saya bagi dengan para mahasiswa di kelas—dari kontrak perkuliahan sampai gaya mengajar saya di kelas. Pun, saya selalu menjadikan awal perkuliahan sebagai waktu untuk memberikan materi di luar mata kuliah yang saya ampu. Saya banyak bercerita kepada para mahasiswa tentang cita-cita, pencapaian, tujuan hidup, dan lain-lain. Hal-hal yang tidak ada di silabus mata kuliah, tetapi bisa sangat penting bagi para mahasiswa.Ada satu pertanyaan yang selalu saya ajukan di dalam kelas pada saat awal pertemuan. Kira-kira pertanyaannya seperti ini,
“Lebih baik lulus tepat waktu atau pada waktu yang tepat?”
Sewaktu saya melepaskan diri dari masa SMA, saya membayangkan ketika menjadi mahasiswa akan terasa menyenangkan. Hmm, pada saat saya menjalaninya maka bisa saya katakan ya dan tidak. Saya baru sadar bahwa dunia kampus berbeda dengan dunia sekolah. Ketika kita duduk di bangku SD, SMP, atau pun SMA, saya dan teman-teman masuk bareng, lulus pun bersama-sama. Tidak halnya ketika kita kuliah. Masuk bareng, tetapi lulus ada yang bareng, ada juga yang tidak. Ada yang selesai delapan semester, bisa jadi ada yang sepuluh, bahkan empat belas semester.
Saya dan teman-teman satu angkatan tidak ada yang berniat menghabiskan waktu delapan tahun di kampus. Menjadi mahasiswa abadi? Oh, tentu tidak!
Dan, jawaban atas pertanyaan saya kepada para mahasiswa di dalam kelas, mereka pun serempak menjawab ‘lulus tepat waktu’.
Namun, waktu bergulir, satu semester berakhir, kemudian masuk ke semester berikutnya, berikutnya, dan berikutnya. Satu kelas tersebut, ada mahasiswa yang lancar jaya seperti jalan tol, ada yang tersendat karena mau tidak mau mesti mengulang mata kuliah, ada yang tertahan pada saat menyusun skripsi. Dua hal itu menjadi faktor yang membuat mereka tersendat untuk lulus. Ada pula mahasiswa yang keasyikan berorganisasi sehingga lupa menuntaskan kuliah. Tidak sedikit juga karena masalah biaya yang menjadi faktor utama. Mereka mesti bekerja untuk bisa membiayai kuliah.
Perihal skripsi yang takkunjung usai, hal itu bisa karena mahasiswa bingung bagaimana memulainya atau kesulitan berkomunikasi dengan dosen pembimbing. Karena tidak menemukan jalan keluar, akhirnya mereka menghilang dari pantauan dosen pembimbing, bahkan pihak program studi (prodi).
Perkara belum lulus menjadi momok tersendiri karena biaya yang mesti dikeluarkan masih tetap ada. Mahasiswa masih harus menanggung biaya SPP, sks seminar, dan skripsi. Bayangkan berapa kocek yang harus dirogoh apabila seorang mahasiswa menambah satu semester lagi, kemudian lagi, dan lagi. Jika dikumpulkan mungkin saja mahasiswa bisa membeli satu unit iPhone keluaran terbaru (ini analoginya sudah pas belum, ya?).
Hal ini lah yang saya tekankan kepada para mahasiswaku di kelas: luluslah tepat waktu! Di luar faktor eksternal seperti masalah biaya, sesungguhnya para mahasiswa memiliki potensi untuk bisa mencapai hal tersebut. Poin-poin berikut ini bisa menjadi pegangan saat kalian berada di dunia kampus.
- Mata kuliah apa pun, kalian jangan pernah punya target mengulang.
- Belajarlah dengan giat karena lebih baik kalian capai saat ini, daripada mesti menambah waktu yang justru akan lebih capai.
- Ketika SPP masih dibiayai oleh orangtua kalian, kalian jangan pernah bepikir menambah beban mereka dengan menambah semester.
- Yang bisa menyelesaikan skripsi dalam waktu satu semester bukanlah mahasiswa yang memiliki IPK tinggi, melainkan mahasiswa yang punya daya juang besar. Jangan patah arang menghadapai dosen pembimbing. Mereka hadir agar skripsi kalian berkualitas.
- Ingat! Lebih baik uang yang kalian punya untuk jajan mie ayam daripada diberikan ke kampus untuk perpanjang semester.
- Ingat pula bahwa ketika kalian sudah lulus, satu beban hilang, kalian bisa fokus mengejar mimpi lainnya.
Dan, sebagai penutup, saya menukil kata-kata Ibu Muti, rekan kerja saya di kampus, “bahwa waktu yang tepat untuk lulus adalah tepat waktu.”
Published by