Sebagai dosen yang memiliki kewajiban mengampu mata kuliah dan memberikan nilai kepada mahasiswa, aku punya prinsip untuk menghargai proses mahasiswa dalam proses perkuliahan untuk memberikan nilai akhir. Itu adalah kunci utama. Aku berusaha tidak pelit, apalagi rigid. Mungkin beberapa mahasiswa tidak mendapatkan nilai bagus di mata kuliah lain, di mata kuliahku mereka mesti mendapatkan nilai yang baik – agar IPK mereka dapat terangkat. Ketika ada kredo tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah, aku memiliki kredo sendiri: tangan di atas lebih baik dari IPK di bawah.
Aku teringat curhatan teman-teman kuliah dan para mahasiswaku terkait nilai.
“Dosen X susah sekali untuk dapat nilai A. Hanya dua orang saja di kelas yang dapat nilai tersebut.”
“Sebal, ih! Si Bapak Y enggak transparan tentang nilai.”
“Kenapa gua yang rajin kuliah dan mengumpulkan tugas bisa dapat C, sementara si itu yang jarang kuliah bisa dapat A?”
“Dosen Z kasih gua nilai D karena gua pernah sempat bermasalah sama doi.”
Dan lain-lain.
Setiap dosen memiliki kebijakan tersendiri terkait nilai. Ada yang transparan, ada yang tertutup. Ada yang ringan tangan memberi A dan B, ada yang rigid.
Di tulisan ini, aku enggak akan mengkritik kebijakan beberapa dosen yang rigid. Karena aku pun belum tentu benar – barangkali aku sendiri adalah dosen yang dikeluhkan oleh para mahasiswa. Biarlah di sini aku bercerita bagaimana kebijakanku memberikan nilai akhir.
Setiap pertemuan pertama aku selalu menjelaskan kontrak perkuliahan kepada para mahasiswa – termasuk nilai.
“Teman-teman, untuk nilai saya hanya ingin memberikan A atau B kepada kalian. Tolong jangan paksa saya untuk memberikan C, D, atau E. Saya akan membantu kalian terkait nilai, selama kalian membantu diri kalian sendiri.”
Dengan cara apa mereka membantu diri mereka sendiri?
Pertama, kehadiran. Ada tambahan nilai yang aku berikan bagi mereka yang bisa hadir sebanyak tiga belas atau empat belas pertemuan. Di luar itu, tidak ada tambahan nilai. Ada keringanan bagi mereka yang benar-benar sakit dan izin karena ada kegiatan kampus lainnya – yang dibuktikan dengan surat izin dari fakultas.
Kedua, tugas dan keaktifan. Semakin rajin mengerjakan tugas secara lengkap, maka bonus nilai menanti mereka. Pun bagi mereka yang aktif di kelas dengan bertanya atau menjawab pertanyaan dariku.
Lalu, bagaimana aku membantu mereka dalam nilai?
Jika hanya mengandalkan nilai UTS dan UAS yang ditambah kuis dan tugas (itu pun porsi nilai kecil), ada saja nilai akhir para mahasiswa berada di bawah B. Aku bantu dengan memberikan remedial untuk mereka yang nilainya belum begitu bagus di UTS dan/atau UAS.
Remedial diberikan kepada mereka yang nilainya di bawah tujuh puluh dan lima puluh. Aku pilih tujuh puluh karena itu adalah standar untuk dapat nilai akhir minimal B. Di bawah tujuh puluh remedial satu kali, sementara di bawah lima puluh dua kali.
Aku memberikan remedial yang dapat meningkatkan pemahaman mereka terkait mata kuliah yang kuampu. Misal, ujian lisan atau studi kasus lapangan dengan laporan berupa makalah. Untuk mereka yang nilainya di bawah lima puluh, remedial kedua, biasanya, aku meminta mereka mengerjakan kembali soal ujian.
Mahasiswa melalui proses remedial tersebut masing-masing individu, bukan berkelompok. Dan, jika mereka bisa mengerjakannya secara baik dan sungguh-sungguh, dengan senang hati aku akan memperbaiki nilai mereka.
Bagiku dari itu semua adalah bagaimana aku menghargai proses belajar mereka selama proses perkuliahan. Aku tahu tidak semua mahasiswa memiliki daya tangkap yang sama dalam menerima pembelajaran. Namun, aku yakin setiap mahasiswa memiliki potensi. Aku tercengang ketika ada seorang mahasiswa yang IPK di bawah tiga, tetapi saat skripsi semangat juangnya sangat tinggi. Dia berhasil melewati ujian sidang skripsi dan komprehensif dengan sangat baik.
Aku pun terinspirasi dari salah seorang dosenku. Suatu hari dia pernah berkata padaku, “Ada banyak faktor mengapa mahasiswa dapat nilai tidak bagus di UTS atau UAS. Ketika dia kuliah rajin datang, tugas lengkap, dan aktif, mengapa aku tidak memberikan nilai dia B atau A?”
Ketika dosen memberikan nilai atas proses usaha, dia menghargai kerja keras mahasiswa untuk mendapatkan dan memahami ilmu itu sendiri.
Published by